Sore Terapi Kemanjaan Untuk Massa
Sore merupakan cognitive-based therapy untuk massa yang manja terhadap rasa pribadi dan penderitaan yang tak kunjung usai akibat keputusan pribadi untuk memperbaiki orang lain dan tidak melihat konsekuensi dari keputusan pribadi yang tak akan lekang dibunuh waktu.
Dalam film Sore, penonton dibiarkan menikmati keluguan dan kedukaan yang dialami oleh Sore, dibalut dengan estetik visual yang ciamik. Pemahaman yang brutal tentang kesia-siaan dari sebuah usaha walau diakhiri dengan simpul kesepahaman dan sedikit magical realism bahwa ada takdir dan koneksi antar universe.
Namun saya bukan menulis soal itu. Saya akan menulis dari perspektif pembunuhan karakter dan peremajaan duka.
Pembuka: Jonathan dan Sore
Film Sore diawali dengan setetes air jatuh di depan karakter laki-laki bernama Jonathan yang berada di Antartika, sedang saat itu mengambil foto aurora. Selepas dari Antartika, Jonathan pulang dan menunjukkan potret gambarnya ke koleganya yang sedang mabuk di bar, dan disambut dengan protes karena pemanasan global bukanlah sudut pandang yang menarik untuk diangkat dalam pameran fotografi. Selepas itu, Jonathan pulang ke rumah untuk beristirahat.
Saat terbangun, Jonathan dikejutkan oleh kehadiran perempuan asing memakai baju gaun biru sedang duduk di tepi ranjang berlawanan dari Jonathan.
“Halo, aku Sore, aku istri kamu dari masa depan.”
Dengan nada renyah diucapkan oleh perempuan tak dikenal itu. Sontak membuat Jonathan terkejut dan berpikir sedang dijahili oleh orang yang dia kenal. Sontak dia menerka bahwa itu adalah kejahilan yang dilakukan oleh koleganya. Koleganya juga terkejut karena itu bukanlah tindakan jahil dia.
Jonathan lantas pergi untuk lunch dan berjalan menyusuri kota, dan perempuan itu tetap mengikutinya. Dalam perjalanannya, Jonathan diingatkan terus-menerus tentang “berhati-hati nanti jatuh” and then proceed to fall, “hati-hati awas air”, and then proceed to get splashed. Isi sahutan Sore berisi tentang precautionary terhadap apa yang akan terjadi.
Saat pulang, Jonathan bertanya kok bisa tahu tentang semua yang akan terjadi.
Usaha yang Sia-sia
Sore berusaha terus mengubah Jonathan dengan menganalisa behaviouralnya, namun sayang nya tidak bersambut dengan perubahan Jonathan. Perubahannya hanya transient dan terbuang oleh waktu. Sore mencoba berbagai cara untuk mengubah Jonathan menjadi pribadi yang lebih baik namun tidak pernah berhasil untuk menjadi kenyataan.
Di pertengahan film, Sore berpikir untuk mengubah cara dia mengubah Jonathan. Jonathan mungkin perlu dipahami dari dalam untuk bisa berubah. Dan ternyata dia menemui Jonathan dan bahwasanya ini karena bapaknya yang tak hadir dalam kehidupan dia.
Singkat cerita, dia berusaha untuk mempertemukan Jonathan dengan bapaknya lagi. Namun cerita itu harus dengan penuh kesulitan bahwasanya waktu Sore sudah habis dan berubah menjadi malam.
Arsitektur Visual
Sore merupakan arsitektur visual yang kental. Setiap salah satu karakter berdialog, mereka akan memilih menunjukkan muka kiri atau kanan, menengok ke kiri atau kanan, duduk atau sambil berjalan.
- Setiap berjalan, mereka sedang menjalani sesuatu aktivitas.
- Setiap duduk, mereka sedang meyakinkan diri atau sedang membuat keputusan.
- Setiap mereka berdiri, mereka sedang menegosiasikan sesuatu yang baru.
- Saat posisi terlentang, mereka sedang mati, membiarkan cerita berjalan.
Cerita ini bukanlah soal 5 stages of grief. Well maybe, but not exactly. Itu cuma framework yang dipakai dalam cerita. Pemahaman Sore adalah penceritaan kehilangan dan kehilangan soal kehilangan.
Apakah pantas Sore bisa memproses kehilangan jika masih ada Jonathan di sisinya?
Apakah berlaku sebaliknya jika Jonathan itu juga bisa memproses kehilangan jika ayahnya yang hilang itu tak pernah ada?
Dalam film ini, secara intrinsik nilai kehilangan tidak dipertanyakan namun diuji dalam skala ekstrim yang hanya bisa terjadi dalam thought experiment. Apakah bisa mencerna kehilangan bisa terjadi jika objeknya ada? Dan apakah kita bisa kehilangan jika objeknya tak pernah ada?
Duka Tanpa Objek (Blanc Mourn)
Dead Mother, itulah judul buku dari André Green, buku psikoanalitik yang menceritakan tentang kematian ibu secara konsep yang dirasakan anak-anaknya dikarenakan tidak hadirnya secara emosional di dalam hidup anaknya. Dalam bukunya, banyak snippet wawancara memiliki tematik yang sama:
- Tidak bisa mengingat masa kecil
- Tidak bisa melihat sesuatu di depan mata
- Semua hanya tersisa putih, tak berisi
Pasien-pasien itu sangatlah kreatif dan ikut dalam bidang kreatif bentuk visual, namun juga memiliki ketakutan yang unik terhadap bidang yang digelutinya.
Kembali ke film Sore. Jonathan merupakan fotografer lepas. Dia punya personal urge untuk mempresentasikan fotografinya yang bertemakan ekosistem Antartika, pemanasan global, dan hewan-hewan yang kehilangan. Le travail du négatif (work of negative) merupakan kosa kata yang tepat. Dia menggambarkan whitespace di antara semuanya dan memvisualisasikan kehilangan yang ia rasakan ketika kehilangan ayahnya dalam bentuk fotografi.
Semua kesedihan dia terendam dalam putih: asap rokok yang mengepul, alkohol yang berbotol-botol. Itu adalah wujud mental Jonathan ketika ditinggal tanpa jejak, tenggelam dalam duka putih.
Dari Putih Menjadi Warna
Lalu apa obatnya? Jonathan tak disembuhkan Sore yang mewarnai harinya: memasakan Jonathan makanan, mengajaknya jalan-jalan, mengajaknya olahraga. Buat Jonathan, itu hanyalah transient dan kembali dihapuskan oleh sedih putih (lagi). Di mana usaha Sore untuk mengajak Jonathan kembali hidup sehat hanya bertemu titik buntu, Jonathan kembali merokok dan minum.
Mewarnai duka putih dengan warna-warna kehidupan bukanlah jawaban yang tepat.
Lalu apa yang tepat? Semua berubah ketika Sore mengajaknya bertemu lagi dengan bapaknya lagi. Jonathan melihat opportunity cost yang hilang akibat kehilangan bapaknya. Duka ia beralih dari kertas kosong menjadi what it could have been. Dari situlah semua berubah. Semua tak lagi putih.
Jonathan kembali ke Indonesia dan kembali membangun hubungan dengan ibunya, dan mewarnai hidupnya sendiri dengan kembali ke keluarganya dan mencoba dengan caranya sendiri mengeksibisikan fotografinya di Indonesia—bukan dalam bentuk foto namun dalam bentuk fabric print yang digantung dalam ruangan.
Hal itu adalah hal yang unik karena itu menggambarkan kehilangan bukanlah kehilangan, namun adalah bentuk transparan dari layer after layer, layaknya kehidupan yang tak cuma satu frame dalam satu layer. Kehilangan tak lagi membelenggu namun sebaagai pengingat apa yang masih ada.
Griefing Without Losing (Peremajaan Duka)
Sore adalah perempuan yang baru saja kehilangan suaminya, namun kini bertemu Jonathan—versi suaminya dari timeline berbeda. Dalam perjalanannya membantu Jonathan, Sore menjalani proses grief work yang paradoksal: ia berduka tanpa kehilangan objek, karena Jonathan masih hadir secara fisik, hanya dalam relasi yang berbeda.
Proses peremajaan duka Sore bukan tentang moving on atau melupakan, melainkan transformasi relasi dengan objek yang hilang. Ia tidak bisa grieve secara konvensional karena objek kesedihannya masih hadir—walau bukan lagi sebagai suami dalam timeline asalnya.
Kehilangan relasi tanpa kehilangan objek ini mengikat Sore dari dua sisi:
- Ia ingin Jonathan tetap hidup ketika kembali ke timelinenya, agar kenangan dan kehadiran Jonathan menjadi kekal.
- Namun ia perlu melepaskan Jonathan dari pengalaman tentang dirinya sendiri (Sore), agar Jonathan bisa berproses dengan kehidupannya sendiri.
Bagaimana seseorang memproses kehilangan jika yang hilang tetap hadir di depan matanya? Inilah dilema Sore.
Lacks sebagai Kondisi Struktural (Konsep Lacan)
Sore, dalam kesadarannya, percaya ada kesempurnaan yang bisa ia wujudkan. Namun di sinilah letak kesalahpahaman fundamental yang diungkap Lacan: lacks bukan bug, melainkan feature dari kondisi manusia.
Dalam teori Lacan, manque (lack/kekurangan) adalah kondisi struktural dari subjek manusia. Lacks bukan sesuatu yang dulunya utuh lalu kemudian hilang—lacks adalah dasar dari hasrat itu sendiri. Kita tidak berhasrat karena kita kekurangan sesuatu; kita adalah subjek yang berhasrat karena kita secara struktural tidak lengkap.
Iklan deodorant Axe yang menjanjikan bidadari adalah contoh sempurna dari fantasy yang menutupi lacks. Kapitalis menjual ilusi bahwa lacks bisa diisi—beli produk ini, maka hidupmu akan sempurna. Tapi dalam logika Lacanian, lacks tidak bisa dan tidak boleh diisi, karena subjektivitas kita sendiri bergantung pada lacks tersebut.
Rencana-rencana Sore—menghentikan Jonathan merokok, membuat Jonathan berhenti minum, membantu Jonathan mempresentasikan fotografinya—adalah fantasy yang sama: sebuah objet petit a, objek penyebab hasrat yang seolah-olah bisa mengisi lubang di dalam diri Sore. “Andaikata ini terjadi, maka hidupku akan sempurna.” Tapi kesempurnaan itu sendiri adalah ilusi—resep rahasia yang bisa menghilangkan kehilangan adalah fantasi yang mustahil.
Dalam terminologi Lacan: “Il n’y a pas de rapport sexuel” (tidak ada relasi seksual)—maksudnya, tidak ada kepuasan total atau kelengkapan final dalam relasi antarsubjek. Selalu ada gap, selalu ada yang tidak tertangkap, selalu ada residue. Ini bukan kegagalan personal, melainkan kondisi struktural dari hasrat manusia.
Hidup dengan Lacks: Merayakan Incompleteness
Lacan membedakan antara demand (permintaan) dan desire (hasrat). Demand adalah permintaan spesifik: “Aku ingin Jonathan berhenti merokok.” Tapi di balik demand, ada desire yang tidak pernah bisa diartikulasikan sepenuhnya—hasrat untuk wholeness, untuk kepastian, untuk menghilangkan anxiety kehilangan.
Hidup pasti dipenuhi lacks—termasuk lacks itu sendiri punya kekurangan. Pertanyaannya bukan: “Bagaimana menghilangkan lacks?” melainkan: “Bagaimana menghidupi lacks dan bahkan merayakannya?”
Sore ditabrak oleh waktu. Dalam time loop, ia kembali dengan semakin cepat—detak jantung, sinematik jarak jauh membuat penonton merasakan waktu Sore yang semakin pendek, semakin mendesak. Setiap loop adalah repetition compulsion: usaha untuk mengulangi, memperbaiki, mengisi lacks. Tapi seperti yang Lacan katakan, enjoyment (jouissance) dalam repetisi bukan tentang kesenangan—melainkan tentang drive yang tidak pernah puas.
Ketidakhadiran sebagai Gong Transformasi
Ironisnya, ketidakhadiran Sore-lah yang menjadi gong dimulainya perubahan Jonathan. Tanpa disadari, saat Sore mulai melepaskan segala kesempatan dan memilih untuk tidak mengejar fantasy kesempurnaan, ia justru mulai memproses dukanya.
Aku sore aku istri kamu selamanya
Inilah paradoks Lacanian: kita hanya bisa berproses dengan kehilangan ketika kita berhenti mencoba mengisinya.
Melepaskan bukan berarti melupakan. Melepaskan adalah traversing the fantasy—melewati fantasi bahwa ada objek di luar sana yang bisa membuat kita utuh. Ketika Sore berhenti mengejar “Jonathan yang sempurna,” ia mulai menerima lacks bukan sebagai luka yang harus disembuhkan, melainkan sebagai ruang di mana hasrat bisa terus hidup.
Sore tidak kehilangan Jonathan—ia kehilangan fantasy tentang relasi sempurna dengan Jonathan. Dan dalam kehilangan fantasy itulah, ia menemukan ruang untuk hidup yang autentik dengan lacks-nya.
Seperti kata Lacan: “Le désir de l’homme, c’est le désir de l’Autre” (Hasrat manusia adalah hasrat dari Yang Lain). Sore belajar bahwa hasratnya bukan untuk mengubah Jonathan, melainkan untuk mengakui bahwa Jonathan, seperti dirinya, adalah subjek yang juga tidak lengkap—dan dalam ketidaklengkapan bersama itulah, relasi yang sejati bisa terjadi.
A Sore brief.
Grief without losing adalah proses yang menyakitkan karena lacks tetap hadir tanpa closure. Tapi dalam kerangka Lacanian, tidak ada closure yang sejati—yang ada hanyalah transformasi hubungan kita dengan lacks itu sendiri. Sore belajar bahwa tugas kita bukan menghilangkan lacks, melainkan menghidupinya, mengakuinya, dan bahkan merayakannya sebagai bukti bahwa kita masih hidup, masih berhasrat, masih menjadi Manusia yang masih Subjek dalam cerita sendiri.
Penutup: Sore, Malam, dan Pagi yang Berulang
Film Sore merupakan terapi kognitif bagi mereka yang manja terhadap kesedihan pribadi—kita yang percaya bahwa dengan cukup usaha, cukup rencana, cukup perubahan, kita bisa menghapus kehilangan dari hidup kita atau orang yang kita cintai.
Tapi Sore mengajarkan sesuatu yang brutal: tidak ada resep sempurna yang bisa menghilangkan kehilangan. Jonathan tidak sembuh karena Sore memasak untuknya, mengajaknya olahraga, atau menghentikannya merokok. Ia berubah ketika Sore berhenti mencoba mengubahnya—ketika ketidakhadiran Sore menjadi ruang bagi Jonathan untuk menghadapi what could have been dan memilih sendiri bagaimana mewarnai blanc mourn-nya.
Sore juga tidak sembuh dengan membuat Jonathan sempurna. Ia sembuh ketika melepaskan fantasy kesempurnaan dan menerima bahwa mencintai Jonathan—versi manapun, di timeline manapun—sudah cukup. Ia berdamai dengan lacks bukan dengan mengisinya, melainkan dengan mengakuinya sebagai ruang tempat hasrat dan cinta tetap hidup.
Dari Sore ke Malam, dari Malam ke Pagi
Ya, namanya Sore pasti akan berubah menjadi Malam. Tapi Malam juga akan menjadi Pagi. Dan seterusnya, berulang.
Lacks adalah struktur temporal dari kehidupan kita: selalu bergerak, selalu berubah, tidak pernah final. Kita tidak bisa menghentikan Sore dari menjadi Malam—tapi kita bisa memilih bagaimana menghidupi setiap waktu dengan awareness bahwa incompleteness adalah yang membuat kita tetap bergerak, tetap berhasrat, tetap menjadi subjek yang autentik.
Untuk massa yang manja: film ini adalah cognitive shock therapy. Ia membunuh karakter “diri yang bisa menyembuhkan orang lain” dan memaksa kita merayakan duka dengan cara baru—bukan dengan menghilangkannya, tetapi dengan melihat bahwa kehilangan adalah lapis transparan yang membuat kehidupan berlayer, bukan putih kosong.
Dan seperti Jonathan yang akhirnya mengeksibisikan fotografinya bukan sebagai foto beku, melainkan sebagai fabric yang berlapis dan bergerak dengan angin—kita belajar bahwa grief work bukan tentang membekukan kenangan atau menghapus luka, tetapi tentang membiarkannya breathe, move, and transform dalam setiap Sore yang berubah menjadi Malam, dan setiap Malam yang berubah menjadi Pagi.
“Aku Sore, aku istri kamu selamanya.”
Bukan karena ia bisa mengubah Jonathan.
Bukan karena ia bisa kembali ke masa lalu.
Tetapi karena ia belajar bahwa mencintai dengan lacks adalah satu-satunya cara mencintai yang sejati.
Dan itu sudah cukup.